Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari:
NIKMAT LIDAH Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
menganugerahkan kepada manusia nikmat yang sangat banyak dan besar. Di antara
nikmat Allah yang terbesar, setelah nikmat iman dan Islam, ialah nikmat
berbicara dengan lidah, nikmat kemampuan menjelaskan isi hati dan kehendak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرَّحْمَٰنُ﴿١﴾عَلَّمَ الْقُرْآنَ﴿٢﴾خَلَقَ
الْإِنْسَانَ﴿٣﴾عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
Allah yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan
Al-Qur`aan. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.
[ar-Rahmân/55:1-4]. Penciptaan manusia dan pengajaran berbicara kepadanya
benar-benar merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah yang besar. Oleh karena
itulah, Allah juga menyebutkan nikmat-Nya tentang penciptaan alat-alat
berbicara bagi manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أَلَمْ نَجْعَلْ
لَهُ عَيْنَيْنِ﴿٨﴾وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua
buah mata, lidah dan dua buah bibir. [al-Balad/90:8-9].
LIDAH, SENJATA BERMATA DUA
Meski lidah merupakan nikmat yang besar, namun
kita perlu mengetahui, bahwasanya lidah yang berfungsi untuk berbicara ini
seperti senjata bermata dua. Yaitu dapat digunakan untuk taat kepada Allah, dan
juga dapat digunakan untuk memperturutkan setan. Jika seorang hamba
mempergunakan lidahnya untuk membaca Al-Qur`ân, berdzikir, berdoa kepada Allah,
untuk amar ma’ruf, nahi munkar, atau untuk lainnya yang berupa ketaatan kepada
Allah, maka inilah yang dituntut dari seorang mukmin, dan ini merupakan
perwujudan syukur kepada Allah terhadap nikmat lidah. Sebaliknya, jika
seseorang mempergunakan lidahnya untuk berdoa kepada selain Allah, berdusta,
bersaksi palsu, melakukan ghibah, namimah, memecah belah umat Islam, merusak
kehormatan seorang muslim, bernyanyi dengan lagu-lagu maksiat, atau lainnya
yang berupa ketaatan kepada setan, maka ini diharamkan atas seorang mukmin, dan
merupakan kekufuran kepada Allah terhadap nikmat lidah.
Dengan demikian, lidah manusia itu bisa menjadi
faktor yang bisa mengangkat derajat seorang hamba di sisi Allah, namun juga
bisa menyebabkan kecelakaan yang besar bagi pemiliknya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : إِنَّ الْعَبْدَ
لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا
يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي
جَهَنَّمَ
Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar
berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak
menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya
beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara
dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya
penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam.
[HR al-Bukhâri, no. 6478].
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah
menjelaskan makna “dia tidak menganggapnya penting“, yaitu dia tidak
memperhatikan dengan fikirannya dan tidak memikirkan akibat perkataannya, serta
tidak menduga bahwa kalimat itu akan mempengaruhi sesuatu. [Lihat Fat-hul-Bâri,
penjelasan hadits no. 6478].
BENCANA LIDAH Secara umum, bencana yang
ditimbulkan oleh lidah ada dua. Yaitu berbicara batil (kerusakan, sia-sia), dan
diam dari al-haq yang wajib diucapkan. Abu ‘Ali ad-Daqqâq rahimahullah (wafat
412 H) berkata:
الْمُتَكَلِّمُ بِالْبَاطِلِ شَيْطَانٌ نَاطِقٌ وَالسَّاكِتُ
عَنِ الْحَقِّ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ
Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah
setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan
yang bisu.
Orang yang berbicara dengan kebatilan ialah
setan yang berbicara, ia bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Sedangkan orang yang
diam dari kebenaran ialah setan yang bisu, ia juga bermaksiat kepada Allah
Ta’ala. Seperti seseorang yang bertemu dengan orang fasik, terang-terangan
melakukan kemaksiatan di hadapannya, dia berkata lembut, tanpa mengingkarinya,
walau di dalam hati. Atau melihat kemungkaran, dan dia mampu merubahnya, namun
dia membisu karena menjaga kehormatan pelakunya, atau orang lain, atau karena
tak peduli terhadap agama. Kebanyakan manusia, ketika berbicara ataupun diam,
ia menyimpang dengan dua jenis bencana lidah sebagaimana di atas. Sedangkan
orang yang beruntung, yaitu orang yang menahan lidahnya dari kebatilan dan
menggunakannya untuk perkara bermanfaat. Bencana lidah termasuk bagian dari
bencana-bencana yang berbahaya bagi manusia. Bencana lidah itu bisa mengenai
pribadi, masyarakat, atau umat Islam secara keseluruhan. Termasuk perkara yang
mengherankan, ada seseorang yang mudah menjaga diri dari makanan haram, berbuat
zhalim kepada orang lain, berzina, mencuri, minum khamr, melihat wanita yang
tidak halal dilihat, dan lainnya, namun dia seakan sulit menjaga diri dari gerakan
lidahnya. Sehingga terkadang seseorang yang dikenal dengan agamanya, zuhudnya,
dan ibadahnya, namun ia mengucapkan kalimat-kalimat yang menimbulkan kemurkaan
Allah, dan ia tidak memperhatikannya. Padahal hanya dengan satu kalimat itu
saja, dapat menyebabkan dirinya bisa terjerumus ke dalam neraka melebihi jarak
timur dan barat. Atau ia tersungkur di dalam neraka selama tujuh puluh tahun.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لَا يَرَى بِهَا
بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِي النَّارِ
Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara
dengan satu kalimat, ia tidak menganggapnya berbahaya; dengan sebab satu
kalimat itu ia terjungkal selama 70 tahun di dalam neraka.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ
مَا فِيهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar
berbicara dengan satu kalimat yang ia tidak mengetahui secara jelas maksud yang
ada di dalam kalimat itu, namun dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di
dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat. [HR Muslim, no. 2988].
Alangkah banyak manusia yang menjaga diri dari
perbuatan keji dan maksiat, namun lidahnya memotong dan menyembelih kehormatan
orang-orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Dia tidak peduli dengan
apa yang sedang ia ucapkan. Lâ haula wa lâ quwwata illa
bilâhil-‘aliyyil-‘azhîm. Sebagai contoh, ialah sebagaimana disebutkan dalam
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini:
عَنْ جُنْدَبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَدَّثَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ
وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا
أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ أَوْ
كَمَا قَالَ
Dari Jundab, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menceritakan ada seorang laki-laki berkata: “Demi Allah,
Allah tidak akan mengampuni Si Fulan!” Kemudian sesungguhnya Allah Ta’ala
berfirman: “Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku, bahwa Aku tidak akan
mengampuni Si Fulan, sesungguhnya Aku telah mengampuni Si Fulan, dan Aku
menggugurkan amalmu”. Atau seperti yang disabdakan Nabi. [HR Muslim, no. 2621].
Oleh karena bahaya lidah yang demikian itulah,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan umatnya.
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ حَدِّثْنِي بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ قَالَ قُلْ رَبِّيَ
اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ
عَلَيَّ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ هَذَا
Dari Sufyan bin ‘Abdullah ats-Tsaqafi, ia
berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara
yang aku akan berpegang dengannya!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘Rabbku
adalah Allah’, lalu istiqomahlah”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah yang
paling anda khawatirkan atasku?”. Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu
bersabda: “Ini”.
Syaikh Husain al-‘Awaisyah berkata:
“Sesungguhnya sekarang ini, sesuatu yang manusia merasa amat tenteram
terhadapnya ialah lidah mereka, padahal lidah yang paling dikhawatirkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas umatnya. Dan yang nampak, lidah itu
seolah-olah pabrik keburukan, tidak pernah lelah dan bosan”.
MENJAGA LIDAH
Menjaga lidah disebut juga hifzhul-lisân. Lidah
itu sendiri merupakan anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan
dikendalikan. Lidah memiliki fungsi sebagai penerjemah dan pengungkap isi hati.
Oleh karena itu, setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
seseorang beristiqomah, kemudian mewasiatkan pula untuk menjaga lisan.
Keterjagaan dan lurusnya lidah sangat berkaitan dengan kelurusan hati dan
keimanan seseorang. Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik , dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ
وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ
الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Iman seorang hamba tidak akan istiqomah,
sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah,
sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari
kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga.
Dalam hadits Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id
al-Khudri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا
تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ
فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya
semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan: “Takwalah kepada Allah
dalam menjaga hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika
engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan
petunjuk), kami juga menyimpang.
Oleh karena itu, seorang mukmin hendaklah
menjaga lidahnya. Apa jaminan bagi seseorang yang menjaga lidahnya dengan baik?
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ
رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada
di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku
menjamin surga baginya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menjelaskan, menjaga lidah merupakan keselamatan.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ
عَلَى خَطِيئَتِكَ
Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata: “Aku
bertanya, wahai Rasulullah, apakah sebab keselamatan?” Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu, dan
tangisilah kesalahanmu”. [HR. Tirmidzi, no. 2406]. Maksudnya, janganlah
berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikan, betahlah tinggal di
dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah menyesali
kesalahan-kesalahan dengan cara menangis.
Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H)
berkata: “Ketahuilah, seharusnya setiap mukallaf (orang yang berakal dan
baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas
maslahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama maslahatnya,
maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa
menyeret kepada perkataan yang haram, atau makruh. Kebiasaan ini, bahkan banyak
dilakukan. Sedangkan keselamatan itu tidak ada bandingannya. Diriwayatkan dalam
Shahîhain, al-Bukhaari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam. Hadits yang disepakati
keshahîhannya ini merupakan nash yang jelas. Hendaklah seseorang tidak
berbicara kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak
maslahatnya. Jika ia ragu-ragu tentang timbulnya maslahatnya, maka hendaklah ia
tidak berbicara. Imam asy-Syafi’i berkata: “Jika seseorang menghendaki
berbicara, maka sebelum berbicara hendaklah ia berfiikir; jika jelas nampak
maslahatnya, maka ia berbicara; dan jika ragu-ragu, maka tidak berbicara sampai
jelas maslahatnya”.
Selain itu, lidah merupakan alat yang berguna
untuk mengungkapkan isi hati. Jika ingin mengetahui isi hati seseorang, maka
perhatikanlah gerakan lidahnya, isi pembicaraannya, dan hal itu akan
menunjukkan isi hatinya, baik orang tersebut mau maupun enggan. Diriwayatkan
bahwasanya Yahya bin Mu’adz berkata: “Hati itu seperti periuk dengan isinya
yang mendidih. Sedangkan lidah itu adalah gayungnya. Maka perhatikanlah ketika
seseorang berbicara. Karena sesungguhnya, lidahnya itu akan mengambilkan
untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya.
Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya”.
PERKATAAN PARA SALAF TENTANG MENJAGA LISAN
Sungguh, dahulu para salaf terbiasa menjaga dan
menghisab lidahnya dengan baik. Dari mereka telah diriwayatkan banyak perkataan
bagus yang berkaitan dengan lidah. Berikut ini ialah sebagian dari pembicaraan
mereka, sehingga kita dapat memetik manfaat darinya. Diriwayatkan, bahwasanya
‘Umar bin al-Khaththab berkata: “Barang siapa banyak pembicaraannya, banyak
pula tergelincirnya. Dan barang siapa banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya.
Dan barang siapa banyak dosa-dosanya, neraka lebih pantas baginya”.
Diriwayatkan, bahwasanya Ibnu Mas’ud pernah
bersumpah dengan nama Allah, lalu berkata: “Tidak ada di muka bumi ini sesuatu
yang lebih pantas terhadap lamanya penjara daripada lidah! Di muka bumi ini,
tidak ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada lidah”.
Diriwayatkan bahwasanya Ibnu Mas’ud berkata:
“Jauhilah fudhûlul-kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi
seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya”.
Syaqiq berkata: ‘Abdullah bin Mas’ud
bertalbiyah di atas bukit Shafa, kemudian berseru: “Wahai lidah, katakanlah
kebaikan, niscaya engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah, niscaya engkau
selamat, sebelum engkau menyesal”. Orang-orang bertanya: “Wahai Abu
‘Abdurrahman, apakah ini suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau
engkau dengar?” Dia menjawab, “Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulallah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
(kebanyakan kesalahan anak Adam ialah pada
lidahnya)”.
Diriwayatkan, bahwasanya Ibnu Buraidah berkata:
“Aku melihat Ibnu ‘Abbas memegangi lidahnya sambil berkata, ‘Celaka engkau,
katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan,
niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engkau akan menyesal’.”
Diriwayatkan, bahwasanya an-Nakha`i berkata:
“Manusia binasa pada fudhûlul-mâl (harta yang melebihi kebutuhan) dan
fudhûlul-kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan)”
Diriwayatkan, bahwasanya ada seseorang yang
bermimpi bertemu dengan seorang ‘alim besar. Kemudian orang ‘alim itu ditanya
tentang keadaannya, dia menjawab: “Aku diperiksa tentang satu kalimat yang
dahulu aku ucapkan. Yaitu, dahulu aku pernah mengatakan, ‘manusia sangat
membutuhkan hujan’.” Aku ditanya: “Tahukah engkau bahwa Aku (Allah) lebih
mengetahui terhadap maslahat hamba-hamba-Ku?
Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata:
“Seorang mukmin itu ialah menyedikitkan perkataan dan memperbanyak amal. Adapun
orang munafik, ia memperbanyak perkataan dan menyedikitkan amal”. Diriwayatkan,
bahwasanya seorang Salaf berkata: “Selama aku belum berbicara dengan satu
kalimat, maka aku manguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka
kalimat itu menguasaiku”. Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: “Diam
adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa
kekuasaan. Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu
tertutupi”.
Kesimpulannya, kita diperintah untuk berbicara
yang baik dan diam dari keburukan. Jika berbicara, hendaklah sesuai dengan
keperluannya. Wallahul-Musta’an.
0 Komentar