PTPN7-Tubu
Kata Akhlak (akhlaq) berasal dari
bahasa arab, merupakan bentuk jama’ dari “khuluq” yang menurut bahasa
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata tersebut
mengandung persegi persesuaian dengan kata “khalq” yang berarti kejadian
(Supadie dan Sarjuni, 2012). Ibnu ‘Athir dalam Didiek, menjelaskan bahwa khuluq
itu artinya gambaran batin manusia yang sebenarnya (yaitu jiwa dan
sifat-sifat bathiniah), sedang khalq merupakan gambaran bentuk
jasmaninya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah badan, dan lain sebagainya) (Supadie,
2015). Maka akhlak bisa dikatakan sistem etika yang menggambarkan dan tujuan
yang hendak dicapai agama. Kata khulq merupakan bentuk tunggal dari akhlak,
tercantum dalam Al-Quran surah Al-Qalam ayat 4: “Sesungguhnya engkau (Muhammad)
berada di atas budi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Secara terminologi terdapat beberapa
definisi akhlak yang dikemukakan para ahli, diantaranya Ahmad Amin
mendefinisikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan (Amin, 2005). Hal ini
sejalan dengan pengertian akhlak yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali yang
mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (al-Ghazali,
Tth). Kemudian dipertegas lagi Ibnu Miskawih, beliau menyatakan bahwa akhlak
merupakan suatu hal atau situasi kejiwaan yang mendorong seseorang melakukan
suatu perbuatan dengan senang tanpa berfikir dan perencanaan (Maskawaih, tth).
Akhlak menduduki peran penting dalam
kehidupan manusia, diantaranya menjadi standar nilai bagi suatu bangsa dan
menjadi tolok ukur nilai pribadi bagi seseorang (Nasharuddin, 2007). Islam
memandang akhlak itu sangat penting untuk mewujudkan kedamaian dan keselamatan
manusia di dunia dan akhirat. Itu sebabnya Nabi Muhammad SAW diutus untuk
memperbaiki akhlak manusia sehingga tercipta ketentraman, sebagaimana firman
Allah SWT dalam Surah Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi: “Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21)
Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan hidup bagi orang-orang yang beriman, bagi mereka yang sempat bertemu langsung dengan Rasulullah SAW, maka cara meneladani Rasulullah dapat mereka lakukan secara langsung. Sedangkan bagi mereka yang tidak sezaman dengan Rasulullah SAW, maka cara meneladani Rasulullah SAW adalah dengan mempelajari, memahami dan mengikuti berbagai petunjuk yang termuat dalam sunnah atau Hadits beliau (Ismail, 2007).
Hubungan Aqidah dengan Akhlak
Aqidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Akhlak mendapatkan perhatian istimewa dalam aqidah Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi).
Islam menggabungkan antara agama yang
hak dan akhlak. Menurut teori ini, agama menganjurkan setiap individu untuk
berakhlak mulia dan menjadikannya sebagai kewajiban (taklif) di atas
pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar iniagama
tidak mengutarakan akhlak semata tanpa dibebani rasa tanggung jawab. Bahkan
agama menganggap akhlak sebagai penyempurna ajaran-ajarannya karena agama
tersusun dari keyakinan (aqidah) dan perilaku.
Oleh karena itu akhlak dalam pandangan
Islam harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup hanya disimpan dalam hati,
namun harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang
baik. Dengan kata lain bahwa untuk mempergunakan dan menjalankan bagian aqidah
dan ibadah, perlu pula berpegang kuat dan teguh dalam mewujudkan bagian lain
yang disebut dengan bagian akhlak. Sejarah risalah ketuhanan dalam seluruh
prosesnya telah membuktikan bahwa kebahagiaan di segenap lapangan kehidupan
hanya diperoleh dengan menempuh budi pekerti (berakhlak mulia).
Hasbi Ash Shiddieqy di dalam bukunya Al
Islam mengatakan bahwa kepercayaan dan Budi pekerti dalam pandangan
Al-Quran hampir dihukum satu, dihukum setaraf, sederajat. Lantaran demikianlah
Tuhan mencurahkan kehormatan kepada akhlak dan membesarkan kedudukannya. Bahkan
Allah memerintahkan seorang muslim memelihara akhlaknya dengan kata-kata
perintah yang pasti, terang, dan jelas. Para muslim tidak dibenarkan sedikit
juga menyia-nyiakan akhlaknya, bahkan tak boleh memudah-mudahkannya (Shiddieqy,
tth).
Aqidah tanpa akhlak adalah seumpama
sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat berlindung di saat kepanasan
dan tidak pula ada buahnya yang dapat dipetik. Sebaliknya akhlak tanpa aqidah
hanya merupakan layang-layang bagi benda yang tidak tetap, yang selalu
bergerak. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian yang serius terhadap
pendidikan akhlak. Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang
terletak pada kesempurnaan dan kebaikan akhlaknya. Sabda beliau: “Orang mukmin
yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling bagus akhlaknya”. (HR.
Muslim)
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau
lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena
tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang ada di dalam hati.
Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang kuat; dan jika
perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai iman yang lemah. Dengan kata
lain bahwa iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedang iman
yang lemah mewujudkan akhlak yang jahat dan buruk.
Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan
bahwa iman yang kuat itu akan melahirkan perangai yang mulia dan rusaknya
akhlak berpangkal dari lemahnya iman. Orang yang berperangai tidak baik
dikatakan oleh Nabi sebagi orang yang kehilangan iman. Beliau bersabda: ”Malu
dan iman itu keduanya bergandengan, jika hilang salah satunya, maka hilang pula
yang lain”. (HR. Hakim)
Kalau diperhatikan hadits di atas,
nyatalah bahwa rasa malu sangat berpautan dengan iman hingga boleh dikatakan
bahwa tiap orang yang beriman pastilah ia mempunyai rasa malu; dan jika ia
tidak mempunyai rasa malu, berarti tidak beriman atau lemah imannya.
Aqidah erat hubungannya dengan akhlak.
Aqidah merupakan landasan dan dasar pijakan untuk semua perbuatan. Akhlak
adalah segenap perbuatan baik dari seorang mukalaf, baik hubungannya dengan
Allah, sesama manusia, maupun lingkungan hidupnya. Berbagai amal perbuatan
tersebut akan memiliki nilai ibadah dan terkontrol dari berbagai penyimpangan
jika diimbangi dengan keyakinan aqidah yang kuat. Oleh sebab itu, keduanya
tidak dapat dipisahkan, seperti halnya antara jiwa dan raga.
Hal ini dipertegas oleh Allah SWT dalam
Al-Quran, yang mengemukakan bahwa orang-orang yang beriman yang melakukan
berbagai amal shaleh akan memperoleh imbalan pahala disisi-Nya. Dia akan
dimasukkan ke dalam surga Firdaus. Penegasan ini dikemukakan dalam firman Allah
SWT. sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya,
mereka tidak ingin berpindah dari padanya” (QS. Al-Kahfi: 107-108).
Ayat di atas memperlihatkan betapa
pentingnya aqidah dan akhlak, dengan keterpaduan keduanya seseorang akan
memperoleh pahala yang besar disisi Allah dengan jaminan surga Firdaus. Hubungan
antara aqidah dan akhlak ini tercermin dalam pernyataan Nabi MuhammadSAW yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah yang artinya: “Dari Abu Hurairah r.a.,
Rasulullah SAW. bersabda, ‘orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang
terbaik budi pekertinya’”.
Dasar pendidikan akhlak bagi seorang
muslim adalah aqidah yang benar, karena akhlak tersarikan dari aqidah dan
pancaran dirinya. Oleh karena itu jika seorang beraqidah dengan benar, niscaya
akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika aqidah
salah maka akhlaknya pun akan salah.
Dengan akhlak yang baik seseorang akan
bisa memperkuat aqidah dan bisa menjalankan ibadah dengan baik dan benar,
dengan itu ia akan mampu mengimplementasikan tauhid ke dalam akhlak yang mulia
(akhlaqul karimah).
Hubungan manusia dengan Allah SWT dan kelakuannya terhadap Allah SWT ditentukan dengan mengikut nilai-nilai aqidah yang ditetapkan. Karena barangsiapa mengetahui Sang Penciptanya dengan benar, niscaya ia akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh atau bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkan-Nya.
Jur/PTPN7/Tubu.
0 Komentar